بِسْــــــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم

Komodifikasi Dan Konsumerisme Ramadhan

Ramadhan telah tiba, panggung pertunjukan konsumerisme dan komodifikasi pun dimulai. Konsumerisme dan komodifikasi adalah dua “penyakit” yang selalu mendapatkan moment akutnya pada bulan Ramadhan.
Pertama konsumerisme. Penyakit ini adalah gejala “penyakit jiwa” yang tercermin dalam pribadi yang jajan minded, belanja minded, mall minded, pasar minded, kendati pun kemampuan secara ekonomi sangat “pas-pasan”.
Gejala penyakit ini, menjalar dalam pribadi yang mudah terinfeksi oleh virus hang out dengan sejumput aktivitas belanja. Aktivitas tersebut sesungghnya bukan karena desakan kebutuhan yang mendasar. Namun, didorong oleh variable gengsi yang melekat pada diri pribadi. Akhirnya, berbagai cara dilakukan untuk memenuhi nafsu yang bernama gengsi itu. Dengan “nganjuk-ngutang” sekali pun.
Perilaku ngagugu hawa nafsu diingatkan Allah dalam Q.S.al-Jatsiyah: 23: yang Artinya:

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”
Cobalah perhatikan pusat-pusat belanja. Mall, supermarket, pujasera, dan sebagainya. Menjelang dan selama bulan Ramadhan, tempat-tempat tersebut penuh sesak oleh para “pegila” belanja. Seolah-olah Ramadhan kongruen dengan belanja, artinya Ramadhan sama dengan belanja. Padahal kurang tepat kan?
Penyakit kedua adalah komodifikasi. Ini adalah penyakit manipulasi. Perhatikan bagaimana iklan di media, spanduk di jalanan, baligho di setiap perempatan jalan, begitu gencar mendengungkan simbol-simbol “agama”.
Artis-artis yang membintangi iklan dipoles dengan baju koko, dirias dengan jilbab, dan dengan fasih melafalkan kata-kata yang “agamis”. Mereka seolah tidak malu dengan perilaku sesungguhnya yang patojaiah dengan peran yang sedang dimainkannya. Jika Ramadhan telah usai, usai pulalah lakon yang mereka perankan. Dan mereka mendapat bayaran atas lakon artifisial (baca: bohong-bohongan) itu.
Apa sebenarnya yang terjadi? Ada apa di balik spanduk, baligho, iklan media, dan perilaku “aneh” tokoh sosialita?
Jawabannya adalah industri komodifikasi. Yaitu, sebuah sekenario besar yang mengeksploitasi Ramadhan—sebagai moment keagamaan—menjadi sesuatu yang bisa dijual dengan meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Tidak peduli pada esensi Ramadhan, lebih-lebih pada internalisasi dan aplikasi semangat yang dibawa oleh Ramadhan. Yang ada hanyalah mencari-cari keuntungan dengan—maaf—menjual agama yang diwakili dengan Ramadhan.
Mari renungkan pernyataan Allah Swt.: “Janganlah kalian menjual ayat-ayat kami dengan harga yang sangat rendah”. Ayat ini tidak bermakna adanya kebolehan menjual atau memanipulasi ayat-ayat Allah dengan harga yang secara matematis tinggi. Tetapi, ayat ini menghendaki harga yang lebih besar yaitu aplikasi dari esensi ayat-ayat Allah.
Simbol-simbol agama yang dilekatkan pada Ramadhan adalah riak-riak air yang nampak di permukaan saja. Belum menyentuh bagian esensinya. Baru bermain-main di wilayah eksoteris belum menjelmakan bagian esoterisnya.
Dengan industri komodifikasi, Ramadhan dan selaksa simbol agama diubah menjadi komoditas. Disulap menjadi barang dagangan, dipasarkan dengan kebohongan, lalu dihmpun hasilnya menjadi pundi-pundi yang menjanjikan.
Pengaruh komodifikasi terkadang membuat manusia menjadi kehilangan kemanusiaannya yang merdeka. Manusia menjadi semacam makhluk otomatis-mekanistis layaknya sebuah robot. Rekayasa media telah membuat manusia mau melakukan apa saja sebagaimana dicitrakan dalam media.
Jika demikian, masuklah kita ke dalam pernyataan Rasulullah Saw. “Seseorang disebut merugi, jika datang Ramadhan pada dirinya, lalu setelah Ramdhan usai, dia tidak mendapatkan Ampunan Allah”.
Nah, pertayaannya what next? Apa langkah berikutnya yang mesti kita sikapi dengan konsumerisme dan komodifikasi? Pertama, nampaknya perlu sadar bahwa keduanya akan tetap berjalan sebagai hukum kesetimbangan sunnatullah. Manakala terjebak didalamnya,berarti telah mengapiliasikan diri pada keduanya.
Kedua, perlu melakukan positioning yang tepat terhadap ajaran agama dan yang melekat padanya. Menghindari keterjebakan dalam symbol, mendalami esensi ajaran, dan berupaya melaksanakan dalam kehidupan, nampaknya usaha yang layak kita upayakan.
Wallâhu a’lam bi al-shawâb.

2 comments

Anonim
13 Juli 2011 pukul 18.05

Keren....tp kl blh tw ayat ini "“Janganlah kalian menjual ayat-ayat kami dengan harga yang sangat rendah”." ada dalam surat apa ya pak n ayat berapa?trims

15 Juli 2011 pukul 08.56

mohon maaf, kai baru sempat menjawab Saudara.
ayat tersebut terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 41.
Syukran.

Posting Komentar