بِسْــــــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم

DASAR HUKUM PENCATATAN PERNIKAHAN DI INDONESIA


DASAR HUKUM PENCATATAN PERNIKAHAN DI INDONESIA
Oleh: Ahmad Nuryani, M.Ag.

 
Perkawinan selanjutnya disebut pernikahan, merupakan sebuah lembaga yang memberikan legimitasi seorang pria dan wanita untuk bisa hidup dan berkumpul bersama dalam sebuah keluarga. Ketenangan atau ketenteraman sebuah keluarga ditentukan salah satunya adalah bahwa pernikahan itu harus sesuai dengan dengan tuntutan syariat Islam (bagi orang Islam). Selain itu, ada aturan lain yang mengatur bahwa pernikahan itu harus tercatat di Kantor Urusan Agama/Catatan Sipil.
Pencacatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap isteri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan lain-lain.

Dalam hal nikah siri atau perkawinan yang tidak dicatatkan dalam administrasi Negara mengakibatkan perempuan tidak memiliki kekuatan hukum dalam hak status pengasuhan anak, hak waris, dan hak-hak lainnya sebagai istri yang pas, akhirnya sangat merugikan pihak perempuan
Pada kesempatan ini perlu kami sampaikan beberapa dasar hukum mengenai pencacatan perkawinan/pernikahan, antara lain:
  1. UNDANG-UNDANG TENTANG NO 22 TAHUN 1946
    Mengatakan:

    Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah.

     

     
    Pasal ini memberitahukan legalisasi bahwa supaya nikah, talak, dan rujuk menurut agama Islam supaya dicatat agar mendapat kepastian hukum.
    Dalam Negara yang teratur segala hak-hak yang bersangkut pada dengan kependudukan harus dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan, kematian, dan sebagainya lagi pada perkawinan perlu di catat ini untuk menjaga jangan sampai ada kekecauan.

     
  2. Undang-undang No I tahun 1974 Tentang Perkawinan
        Pasal 2 Ayat 2 menyatakan:
    "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."

     
  3. PP NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UU NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.
    Bab II Pasal 2
    Ayat 1:
    "Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk."
    Ayat 2:

     
    "Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatn Sipil sebagaiman dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan."

     
    Ayat 3:
    "Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tatacara pencatatn perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 samapai Pasal 9 Peraturan Pemerintah."

     
    Pasal 6;
    Ayat 1:
    "Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-sayart perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang."
    Ayat 1:
    "Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Pencatat meneliti pula:
    1. Kutipan Akta Kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu;
    2. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal orang tua calon mempelai;
    3. Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;
    4. Izin Pengadilan sebagi dimaksud pasal 14 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri;
    5. Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;
    6. Izin kematian isteri atau suami yang terdahuluatau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;
    7. Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah satu calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;
    8. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alas an yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
    Mengapa Perkawinan Harus Dicatat? Sebuah Catatan Aksiologi
    Nikah yang sah menurut undang-undang adalah nikah yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Pencatatan ini dilakukan jika ketentuan dan peraturan sebagaimana Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 telah dipenuhi.
    Mengapa nikah harus dicatat? Ada beberapa manfaat pencatatan pernikahan:
    1. Mendapat perlindungan hukum
      Bayangkan, misalnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jika sang istri mengadu kepada pihak yang berwajib, pengaduannya sebagai istri yang mendapat tindakan kekerasan tidak akan dibenarkan. Alasannya, karena sang isteri tidak mampu menunjukkan bukti-bukti otentik akta pernikahan yang resmi.
    2. Memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan
      Akta nikah akan membantu suami isteri untuk melakukan kebutuhan lain yang berkaitan dengan hukum. Misalnya hendak menunaikan ibadah haji, menikahkan anak perempuannya yang sulung, pengurusan asuransi kesehatan, dan lain sebagainya.
    3. Legalitas formal pernikahan di hadapan hukum
      Pernikahan yang dianggap legal secara hukum adalah pernikahan yang dicatat oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau yang ditunjuk olehnya. Karenanya, walaupun secara agama sebuah pernikahan yang tanpa dicatatkan oleh PPN, pada dasarnya illegal menurut hukum.
    4. Terjamin keamanannya
      Sebuah pernikahan yang dicatatkan secara resmi akan terjamin keamanannya dari kemungkinan terjadinya pemalsuan dan kecurangan lainnya. Misalnya, seorang suami atau istri hendak memalsukan nama mereka yang terdapat dalam Akta Nikah untuk keperluan yang menyimpang. Maka, keaslian Akta Nikah itu dapat dibandingkan dengan salinan Akta Nikah tersebut yang terdapat di KUA tempat yang bersangkutan menikah dahulu.
    Wallâhu a'lam bi al-shawâb.

     

     

8 comments

29 Desember 2011 pukul 03.33

Assalāmu'alaikum warahmatullāhi wabarakātuh
Telah terima gaji dan tunjangan ,tugasnya melanyani masyarakat yang akan Ibadah .
Jika meminta tarif di luar harga yang resmi ,.. itu apa ?
Sedekah itu tidak di minta dengan paksa ,.. atau tawar menawar,.. atau jika tidak memenuhi permintaan maka : tidak di layani . Itu haram .
Penghulu ,..bisa siapa saja yang sah diatur dalam Fiqih.
Bismillâhir Rahmânir Rahîm
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.( 2. Al Baqarah 188.).
Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa) mereka, dan beban- beban (dosa yang lain) di samping beban-beban mereka sendiri, dan sesungguhnya mereka akan ditanya pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka ada-adakan.( 29. Al 'Ankabuut 13.).
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah[789] dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?,( 14. Ibrahim 28).

Wallahu A`lam Bish-shawab … Amin.

Anonim
26 Juni 2012 pukul 20.53

Maaf, bukan LEGIMITASI mas tapi LEGITIMASI

3 Juli 2012 pukul 08.42

@RealSyukron Untuk Nasihatnya....!!!
Semoga Kita Semua Menjadi Pagawai yang AMANAH.

3 Juli 2012 pukul 08.44

@AnonimTrims Untuk Koreksinya!

5 Oktober 2012 pukul 22.40

Assalamau'aikum...
Bagaimana cara mengajukan pencatatan pernikahan untuk yang sudah menikah sah menurut agama (ceuk batur mah ceunah nikah siri, walaupun acara pernikahannya rame/loba nu diondangna), soalna secara teknis banyak dipersulit, kurang itulah, kurang ieulah, ari nu rek ibadah loba dihalangan, ari nu zina ku nagara "dipersilahkan" asal jangan mengganggu ketertiban cenah. profil nu nikahna pria duda 1 tahunan bekas istrinya sudah nikah laki dengan laki-laki lain dan tidak melalui pengadilan, perempuannya janda sudah 5 tahunan, dan bekas suaminya sudah meninggal 3 tahunan, masalah prosedur/administrasi keluargana "poekeun", tingkat pendidikan & ekonomi perlu kurang. Diantos penjelasannya... Wassalamu 'alaikum ...

15 Oktober 2012 pukul 11.07

@Asep SaepudinAlaikum Salam, Sebelumnya, terima kasih Kang Asep telah berbagi dengan kami. Pertama, petugas pencatat nikah di dimanapun pasti akan berhati-hati dalam pemeriksaan berkas calon pengantin karena ini bagian dari konsekwensi pekerjaan. Sebetulnya tak ada dan tidak harus ada istilah "Sulit" seandainya semua pihak bersabar dan mau saling mengerti, menempuh prosedur sesuai dengan kelajiman apalagi jika syarat administratif yang diperlukan sudah lengkap. Apa yang Kang Asep sampaikan dengan kata "DIPERSULIT" itu kemungkinan besar karena mempelai laki-laki tidak memiliki tanda bukti perceraian (Akta Cerai) dari pengadilan. Perlu diketahui, dalam CATATAN NEGARA, suatu pasangan dikatakan bercerai apabila telah ada putusan Pengadilan Agama. Dengan tidak adanya Akta Cerai berarti Laki-laki itu belum berstatus duda. Mohon maaf ! Petugas pasti meminta kejelasan soal itu. Untuk calon mempelai perempuan yang statusnya janda ditinggal mati berkas administrasinya hanya dibutuhkan surat keterangan mati dari kelurahan. Kang Asep atau pihak yang menikah sudah berkomunikasi langsung mengenai masalah ini dengan petugas belum ?. Mudah2an istilah "POEKEUN" itu tidak ada lagi jika konsultasi dilakukan. Sebetulnya masyarakat tidak boleh apatis dengan praktek kerja birokrasi yang mungkin masih banyak kekurangan di sana sini. Terakhir, Ruang tulisan ini tidak akan bisa menampung seluruh jawaban yang diperlukan kang Asep, sehingga dipastikan tidak akan memuaskan. Kami sangat terbuka untuk berdiskusi lebih jauh masalah ini ... terima kasih.

15 Oktober 2012 pukul 11.17

@KUA GedebageSecara aturan pencatatan pernikahan yang sudah menikah namun belum tercatat pernikahannya di KUA, maka harus ada penetapan pernikahan (ITSBAT NIKAH) dari Pengadilan Agama. Hubungi KUA tempat akang berdomisili minta format permohonan itsbat untuk disampaikan ke Pengadilan Agama

30 Januari 2013 pukul 13.45

Assalamu'alaikum wr. wb. Maaf selamat jumpa dengan kami kerabat kerja di KUA Kec./Kab. Banyumas - Jateng. Selamat saling ketemu di dunia maya. Mari kita saling berbagi dan saling kunjungi blog kita. Terima kasih

Posting Komentar