بِسْــــــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم

Perkawinan Dan Keluarga Dalam Hukum Positif

Perkawinan Dan Keluarga Dalam Hukum Positif
Oleh: Ahmad Nuryani, M.Ag.

Perkawinan (baca: pernikahan) menurut pengertiannya sangatlah sederhana. Yaitu aqdun yatadhammanu ibâhata wath'in bi lafdzi inkâhin aw tazwîjin aw tarjamatihi, yang diartikan sebagai akad yang mengandung kebolehan wathi (hubungan badan) dengan mengucapkan lapal inkâh, tajwîj, atau terjemahannya. Jadi, dengan hanya mengucapkan kata-kata yang bermakna menikahi atau mengawini, dan telah terpenuhinya syarat dan rukun yang ditentukan, pernikahan telah menjadi sah.
Namun, ternyata pernikahan yang sah menurut agama dan tidak tercatat secara legal menurut hukum positif, membuka kemungkinan munculnya masalah di kemudian hari. Untuk menghindari berbagai masalah yang muncul di kemudian hari, maka Pemerintah mengaturnya dalam berbagai aturan hokum positif. Di antaranya:
  1. UU Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  2. PP Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  3. KMA Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah dan Rujuk
  4. Peraturan Direktur Jenderal Bimas Islam Departemen Agama Nomor: DJ.II/491 Tahun 2009
Pada praktiknya, upaya menghindari munculnya berbagai problem yang dapat merusak harmoni hubungan keluarga, maka dilakukan penasihatan, pembinaan, dan pemeliharaan perkawinan melalui lembaga BP4. Pembinaan tersebut dilakukan oleh pengurus BP4 atau pihak yang ditunjuk oleh pemerintah.
Demikian, semoga bermanfaat.
Wallâhu a'lam bi al-Shawâb.

1 comment

14 Maret 2012 pukul 15.19

Informasi yang bermanfaat :)
hmm,, jadi pengen nikah nih ... tp blum waktunya
heheh

Posting Komentar